DPRD Nunukan Menyetujui Pembahasan Usulan Perubahan Perda Tentang PMA

Rapat Paripurna Ke-4 Masa Persidangan II, 27 maret 2023

NUNUKAN – Usulan perubahan pada Peraturan Daerah (Perda) Nomor 16 Tahun 2018 Tentang Pemberdayaan Masyarakat Adat (PMA) yang olehPemerintah Daerah Kabupaten Nunukan, pada Rapat Pariupurna ke-2 Masa Persidangan II yang digelar Senin, 20 Maret 2023 lalu. Secara umum seluruh fraksi yang ada di DPRD Nunukan, melalui Rapat Paripurna ke-4 Masa Persidangan II, 27 maret 2023, menyetujui pembahasan .

Melalui juru bicara Fraksi Partai Hanura, Ahmad Tryadi,  menyetujui pembahasannya dilakukan sesuai tahapan-tahapan dalam rangka penyelarasan, pembulatan, dan pemantapan Rancangan Peraturan Tersebut. Baik terhadap Peraturan Perundang-undangan yang lebih tinggi maupun dinamika sosial masyarakat Kabupaten Nunukan.

Dari Fraksi Partai Hanura , meminta kepada Anggota DPRD Kabupaten Nunukan membentuk Panitia Khusus (Pansus) guna menindaklanjuti pembahasannya.

“Kami juga meminta Pemkab Nunukan memfasilitasi pertemuan antara pihak masyarakat Dayak Agabag dengan Dayak Tegalan untuk melakukan islah,” kata Ahmad Tryadi.

Fraksi Partai Demokrat (FPD) Melalui Get Khaleb sebagai juru bicaranya, berpendapat, persoalan utama Masyarakat Hukum Adat (MHA) di wilayah Kabupaten Nunukan dewasa ini semakin terbatas dan atau berkurangnya hak atas ruang hidup di atas tanah mereka sendiri.

Terjadi pengalihan hak MHA atas wilayah adat secara sistimatis atas nama pembangunan dengan nama HGU, Taman Nasional, Hutan Lindung, dan lain-lainnya, kata Gat Khaleb, mengakibatkan MHA sudah tidak memiliki hak atas ruang hidup yang cukup.

“Hari ini saja, sudah terbatas atau tidak cukup, bahkan sudah tidak ada. Apalagi pada dua puluh hingga lima pul;uh tahun mendatang,” tegas Gat.

Kondisi tersebut, menurut FPD harus menjadi fokus perhatian atau landasan pijakan terkait revisi yang akan dilakukan pada Perda Nomor 16 Tahun 2018 itu nanti.

Pengalihan hak, lanjut dia, terjadi atas nama pembangunan dan kesejahteraan. Namun fakta yang terjadi bahwa MHA tidak mendapatkan pembangunan dan kesejahteraan yang dijanjikan tersebut.

“Malah sebaliknya, korporasi yang terjadi hanya betujuan mencari atau mengumpulkan kekayaan semata-mata pada kelompok tertentu. Memenjarakan pejuang MHA yang menuntut untuk memperoleh hak makan dan hak hidup di atas tanah mereka sendiri,” tegasnya.

Karenanya, FPD meminta agar praktik-praktik serupa itu diakhiri dengan melakukan pengakuan, perlindungan dan pemberdayan atau penguatan terhadap MHA.

Penguatan atau pemberdayaan yang dimaksudkan FPD, meliputi kapasitas dan kapabilitas kelembagaan, legal standing dan pemetaan wilayah adat. Dalam konteks inilah, dukungan fasilitas oleh Pemda menjadi sesuatu yang harus dan bahkan mutlak dipikirkan.

Revisi yang akan dilakukan, kata dia lagi, harus bermuara pada solusi terbaik dan komprehensif. Harus menjamin, memastikan eksistensi MHA agar lebih kokoh, lebih kuat dari sebelumnya. Tidak boleh mengebiri, menghilangkan atau mengaburkan sebagian atau seluruhnya eksistensi dan hak-hak MHA sebagaimana dimaksud UUD 45 Pasal 188 ayat 2 yang mengatakan negara mengakui dan menghormati kesatuan MHA serta hak-hak tradisionalnya sepanjang masih hidup dan sesuai dengan perkembangan masyarakat dan prinsip NKRI, yang diatur dalam undang-undang.

Menyampaikan Pandangan Umumnya terhadap usulan perubahan Perda Nomor 16 tahun 2018 dimaksud, Fraksi Gerakan Karya Pembangunan  (Fraksi GKP) melaui juru bicaranya Siti Raudah Arsyad, menyarankan perubahaa yang diusulkan dengan mempertimbangkan aspek penting dan krusial, yaitu Masyarakat Hukum Adat. Karena pengakuan dan perlindungan bagi mereka akan diperoleh melalui Peraturan Daerah sebagai Implikasi dari Undang-Undang Desa.

“Pengakuan dan perlindungan hak masyarakat adat menjadi penting karena harus diakui secara tradisional masyarakat adat lahir dan telah ada jauh sebelum Negara Kesatuan Republik Indonesia terbentuk,” kata Siti Raudah

Sehingga, Perda akan menjadi payung hukum yang mengakui dan melindungi Masyarakat Adat secara formal dan resmi oleh Negara dan Undang Undang dalam rangka memfungsikan hukum adat sebagai rumah besar pelindung bagi masyarakat. Baik itu menjaga dan melestarikan hutan adat, hingga persoalan yang mencakup sosial kemasyarakatan maka penyusunan Perda tentang Pemberdayaan Masyarakat Adat merupakan salah satu bentuk keberpihakan Pemda kepada masyarakat adat di Kabupaten Nunukan.

Sementara itu, pada pandangannya, Fraksi Partai Keadilan Sejahtera, melalui juru bicara mereka Inah Anggraini yang menyetujui dilakukan pembahasan terhadap usulan perubahan Perda Nomor 16 Tahun 2018 tersebut sangat perlu memperhatikan apa yang menjadi kewenangan dari pemerintah untuk melindungi serta menjaga dan melestarikan adat istiadat masyarakat hukum adat yang ada di wilayah Kabupaten Nunukan.

“Perubahan beberapa pasal dalam Raperda tersebut hendaknya menitik beratkan pada pemberdayaan masyarakat hukum adat serta perlindungan masyarakat Hukum adat secara terstruktur,” terang Inah.

Satu dari empat fraksi yang ada di DPRD Nunukan, yakni Fraksi Perjuangan Persatuan Nasional, tidak secara langsung menyampaikan pembacaan pandangan mereka pada kesempatan saat itu. Fraksi ini memastikan pandangan umum mereka sudah disampaikan secara tertulis kepada pimpinan DPRD.(mld*)