TARAKAN- bertempat di Masjid Baiturrahim Kelurahan Gunung Lingkas, kecamatan Tarakan Tengah, Forum Komunikasi Umat Beragama (FKUB) menggelar sosialisasi moderasi beragama, selasa 21 Februari 2023.
Sosialisasi yang dihadiri Lurah Gunung Lingkas, para ketua RT dan takmir masjid di wilayah Gunung Lingkas, menghadirkan dua pemeteri, yaitu KF.Drs.Muhammad Annas, selaku pengurus FKUB dan juga Ketua MUI Tarakan, kedua yaitu, Sekum FKUB Tarakan H. Syamsi Sarman, S.Pd.
Penyampaian materi Moderasi Beragama oleh ( pengurus FKUB dan Ketua Umum MUI Tarakan)
- Drs. Muhammad Annas. L, pada penyampaian materinya mengatakan, bagi bangsa Indonesia, keagamaan diyakini takdir tuhan.
“Tidak ada yang minta untuk berbeda melainkan kehendak sang pencipta. Sehingga keragaman dalam beragama itu adalah suatu keniscayaan. Jangankan antar agama, internal umat beragama pun terdapat beragam paham, pendapat, sekte dan aliran yang satu sama lain juga banyak perbedaan, sehingga dibutuhkan satu konsep yang dapat dijadikan perekat dan pemersatu dari keragaman beragama tersebut,” ujarnya.
Lebih jauh ia menjelaskan, mederasi beragama adalah sebuah perspektif atau khazanah berfikir dalam menyikapi adanya keragaman beragama dan paham keagamaan. Secara bahasa moderasi berasal dari akar kata moderat yang berarti sedang atau tengahan, tidak kelebihan dan tidak kekurangan.
Bisa juga diartikan penguasaan diri, bersikap wajar, biasa – biasa saja, tidak ekstrim, toleran dan mengedepankan keseimbangan. Dalam Islam dimaknai dengan tawasuth atau wasathiyah (Islam washiyah) yang berarti tengahan atau berimbang dan toleran. Allah SWT berfirman, “dan yang demikian ini kami telah menjadikan kalian (umat Islam) sebagai umat pertengahan (ummatan wasthan) agar kalian menjadi saksi atas perbuatan manusia dan agar rasul (Muhammad) menjadi saksi atas perbuatan kalian (QS. Al Baqarah : 143).
Muhammad Annas, menjelaskan, kita hidup di tengah masyarakat yang heterogen, berbeda suku, agama, kelompok dan paham keagamaan, dll. Jika tidak tumbuh kembangkan sikap moderasi beragama maka tidak mustahil satu dengan lainnya akan saling merasa dirinya yang paling benar sedangkan yang lainnya salah. Satu individu atau kelompok memaksakan kehendaknya kepada individu atau kelompo yang lain. Dan hal terburuknya adalah mengarah kepada perbuatan radikalisme. Yaitu sikapdan tindak kekerasan dalam memaksakan kehendaknya. Kondisi seperti ini mustahil akan terwujud kerukunan dan keharmonisan. Sehingga moderasi beragama menjadi keniscayaan yang harus ditumbuhkembangkan dan ditularkan kepada setiap individu dan kelompo masyarakat secara terus menerus, berkesinambungan dari generasi ke generasi, agar terwujud kedamaian dan kerukunan. Disisi lain juga perlu dipahamkan kepada masyarakat akan bahayanya paham radikalisme. Apalagi jika radikalisme mengatasnamakan agama. Padahal tidak ada satupun agama yang mengajarkan kekerasan, teror dan intimidasi hingga merampas hak orang lain secara tidak sah.
Hidup ditengah kebhinekaan yang asasinya adalah anugrah dari Tuhan, maka keragaman dan perbedaan harus dijadikan khazanah yang harus dikelola secara positif dan produktif. Allah memang menciptakan manusia itu berbeda-beda adalah untuk saling mengenal (ta’aruf). Dari saling mengenal itulah kita mengetahui bahwa manusia itu asalnya adalah satu yaitu Adam kemudian beranak Pinak dan menyebar ke seluruh penjuru bumi dari masa-masa hingga menjadi milyaran penduduk dunia dengan ras, budaya dan cara hidup masing-masing. Manusia kemudian berusaha mengenali tuhannya dari nabi-nabi yang diutus kepada mereka sehingga terjadi beragam agama dan keyakinan. Sudah tepat jika dipraktekan perspektif moderasi beragama untuk kembali menyatuka manusia yang bercerai-berai dalam beragama tersebut. Allah berfirman, ” wahai orang-orang yang beriman, sesungguhnya kami telah menciptakan kalian dari jenis laki-laki dan perempuan dan kami telah menjadikan kalian berbangsa-bangsa dan bersuku-suku supaya kalian saling mengenal.” (QS-Al Hujurat : 13).
Sementara itu sekretais umum FKUB Tarakan, H. Syamsi Sarman, S.Pd. pada penyampaian materi PBM Menag dan Mendagri sebagai antisipasi potensi konflik , mengungkapkan , salah satu kerawanan yang berpotensi terjadinya konflik antar umat beragama adalah persoalan pembangunan rumah ibadah.
Dimana ia mencontohkan, banyak contoh kasus yang terjadi di berbagai daerah di Indonesia tak terkecuali di kota Tarakan dan kabupaten lainnya di wilayah Kalimantan Utara. Sehingga dipandang perlu mensosialisasikan peraturan Bersama (PBM) Menteri Agama dan menteri dalam negeri nomor 9 dan 8 tahun 2006 yang mengatur tentang kerukunan umat beragama dan ketentuan persyaratan mendirikan rumah ibadah, imbuhnya.
Syamsi Sarman juga mengharpkan, dalam membangun rumah ibadah harus berdasarkan kebutuhan nyata demi tersedia sarana tempat beribadah bagi pemeluk agamanya. Mengacu pada ketentuan PBM tersebut bab IV dan bab V, maka harus ada minimal 90 orang seagama sebagai pengguna rumah ibadah yang dibuktikan dengan daftar nama dan KTP masing-masing yang bersangkutan. Dan dilokasi yang akan didirikan rumah ibadah tersebut harus mendapatkan dukungan minimal 60 orang warga sekitar, baik seagama maupun tidak seagama yang dibuktikan dengan daftar nama dan KTP masing-masing yang bersangkutan. Persyaratan ini bukan dimaksudkan untuk mempersulit umat beragama dalam menunaikan ibadah, melainkan untuk menghindari komplain dari warga yang tidak menerima adanya pembangunan rumah ibadah tersebut. Setiap umat beragama tentu ingin beribadah dengan tenang dan khusyuk. Mereka ingin beribadah tidak dalam kecemasan atau kekhawatiran karena adanya gangguan dari pihak manapun. Untuk itulah perlunya rumah ibadah dibangun dengan senantiasa memperhatikan syarat dan petunjuk teknis yang sudah diatur oleh pemerintah.
“Begitu pula halnya dengan rumah ibadah sementara. Kegiatan peribadatan yang dilaksanakan bukan di rumah ibadah khusus, melainkan dilaksanakan pada fasilitas umum atau gedung yang notebene bukan rumah ibadah. Demi menghindarkan kesalahpahaman dan komplain dari warga sekitar tempat ibadah sementara tersebut, maka perlu mendapatkan izin dari kepala daerah. Sudah ada beberapa kasus yang terjadi di wilayah kota Tarakan ini dimana warga tidak terima atau tidak setuju di lingkungan mereka ada kegiatan ibadah agama Lian meskipun hanya berstatus sementara. Bahkan tidak jarang penolakan warga tersebut dilakukan secara anarkis cenderung radikal dan teror. Hal inilah yang tentunya tidak kita harapkan,” ujarnya.
Di negeri ini agama sangat dijunjung tinggi, diakui , dijamin, dan dilindungi pelaksanaannya. Bahkan sila pertama dalam Pancasila yang merupakan dasar dan falsafah kita hidup bernegara adalah ketuhanan yang maha esa yang artinya negara berdasarkan pilihan yang diyakininya. PBM adalah upaya pemerintah untuk menjaga kemuliaan agama dan pemeluk agama agar satu sama lainnya memperoleh hak dan kewajiban yang sama dalam menjalankan agama yang diyakininya. Tidak ada umat yang merasa mayoritas kemudian menindas yang ingin hidup sendiri kemudian meneror atau menyingkirkan umat lainnya. Semuanya diberikan hak yang sama, dan semua diatur dengan regulasi yang sama.
Untuk itulah, FKUB mensosialisasikan PBM tersebut kepada masyarakat melalui ketua RT dan pengurus rumah ibadah agar menjadi pengetahuan bersama dan pedoman yang harus dipatuhi oleh semua anggota masyarakat. Ketua RT sebagai ujung tombak dan perpanjangan tangan pemerintah, sementara pengurus rumah ibadah sebagai lembaga umat yang sehari-harinya bersentuhan langsung dengan umat. Dari sosialisasi ini diharapkan potensi konflik antar umat beragama serta sikap dan tindakan radikalisme dapat dicegah sejak dini sehingga masyarakat dapat menikmati kerukunan dan keharmonisan dalam hidup bermasyarakat, berbangsa dan bernegara, harap Syamsi Sarman. (mld*)
Leave a Reply
View Comments